
Kaleidoscope of Fate
Lavanya Sara, seorang aktris Indonesia tengah berada di ujung tanduk. Tidak lama setelah film terbarunya tayang di bioskop, ia terkena skandal karena gimik yang dilakukan dengan Jourdy Azharya, lawan main sekaligus cinta lamanya di masa sekolah.
Takdir, gimik, dan rencana-rencana yang dibuat untuk menarik banyak penonton, pada akhirnya membuat Lavanya Sara harus memilih: menyelamatkan hati yang belum sembuh dari ketakutan, atau menyelamatkan film dan karir yang dibangunnya sedari muda.
Author | : | adhan akram |
Price | : | Rp 98,000 |
Category | : | ROMANCE |
Page | : | 308 halaman |
Format | : | Soft Cover |
Size | : | 13 X 19 |
ISBN | : | 9786230417641 |
Publication | : |
Anya duduk gelisah di kursi penonton. Air wajahnya tampak tenang, tetapi jantungnya seakan siap meledak hebat hanya dalam hitungan detik. Ia berusaha tidak panik namun bola matanya masih enggan lepas dari sosok Nicholas Saputra yang berdiri dalam balutan tuksedo hitam.
“Berjalan selaras dan beriringan, perempuan dan film adalah kombinasi tak terpisahkan.” Nicholas membuka suara dan Anya mengembuskan napas panjang dari mulutnya. “Selain memiliki peran sebagai pengantar cerita, perempuan sering kali menjadi sebuah ikon penting dari judul film yang diperankannya.”
“Sebut saja karakter Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta?, Hayati dalam film Tenggelamnya Kapal van der Wijck, atau Maria dalam film Ayat-Ayat Cinta. Berikut ini adalah nominasi untuk kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik, Festival Film Indonesia 2021. Nominasinya adalah—”
Menyadari kedatangan seorang juru kamera membuat Anya bergegas memalsukan ekspresi wajahnya. Berusaha menyamarkan ketegangan yang luar biasa.
“Dan, peraih piala citra untuk kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik, adalah...” Nicholas Saputra menarik napas dan Anya seakan mendengar jelas masuknya udara yang ditarik oleh laki-laki itu. Waktu seakan lumpuh. Sementara keheningan adalah suara paling nyaring yang pernah Anya dengar di seluruh dunia. “... Lavanya Sara dalam film Tantrum!”
Anya ternganga. Ketika semua orang menghambur untuk memeluk dan mengucapkan selamat, perempuan itu menatap kosong ke berbagai arah dan siap untuk kehilangan kesadaran dalam hitungan detik. Lalu tiba-tiba saja, dia sudah berada di atas panggung. Dengan riuh tepuk tangan yang seakan-akan tak akan pernah menemui kata henti.
Menutup jarak yang terbentang di antara dirinya dan Nicholas Saputra, perempuan itu maju beberapa langkah. Segalanya terasa seperti mimpi.
“Selamat ya, Anya!” Nicholas tersenyum.
Anya mengulurkan tangan dan menyaksikan momen ketika piala itu terselip dari genggaman tangan Nicholas, menghantam lantai dalam sebuah dentuman keras, kemudian terbelah menjadi dua.
Terdengar suara cekat napas penonton. Lalu Anya terbangun dengan jantung berdebar hebat.
Dalam kegelapan, ia menerawang jauh menembus dingin kamarnya, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Untuk kesekian kalinya, Anya memimpikan momen tersebut. Sebuah adegan yang paling dia idam-idamkan. Satu hal yang seolah-olah mampu diraihnya hanya dalam mimpi.
Seperti apa yang selalu terjadi, mimpi itu membangunkan kembali keraguan yang ada di bagian terdalam diri Anya: tigabelas tahun berkarier dan belum pernah sekali pun memenangkan penghargaan dalam bidang akting, masih pantaskah dirinya berada di industri ini?
Lalu tepat seperti apa yang selalu terjadi, Anya berusaha mengenyahkan pikiran itu dengan turun dari ranjang, dan bersiap-siap untuk lari pagi.

adhan akram
RECOMMENDED FOR YOU Explore More



