_1706085775.jpg)
Customer Sharelove
Kenalin, gue Veanita, kasir minimarket yang harus bertahan menghadapi Daffa si kepala toko yang hobi bikin gue nangis... dan Caka, customer super nyebelin yang—bukannya belanja
—malah marah-marah bahkan ngadu ke kantor pusat. Sialnya, nggak cuma sekali dia begini. Berkali-kali!
Sebenernya, gue udah mau resign... dan gue ogah banget berurusan sama customer macam Caka. Tapi... gara-gara gue harus balikin KTP Caka yang jatuh di minimarket, gue kok malah... jatuh cinta?! Gimana, nih?
Author | : | Ujwar Firdaus |
Price | : | Rp 89,000 |
Category | : | ROMANCE |
Page | : | 220 halaman |
Format | : | Soft Cover |
Size | : | 13 cm X 19 cm |
ISBN | : | 9786230416347 |
Publication | : | 24 January 2024 |
Kalau disuruh pilih antara kerja selama dua sif atau kerja bareng kepala toko, jelas gue lebih pilih kerja dua sif. Alasannya simpel. Pertama, gue jomlo. Seenggaknya, waktu yang gue habiskan buat bekerja bisa bikin gue lupa dengan kenyataan tersebut dan merasa nggak ngenes-ngenes banget. Apalagi hampir setiap hari gue selalu denger tetangga kosan gue, Mbak Isna, mengobrol sama pacarnya sepanjang malam.
“Sayang, Sayang... sun dulu, dooong!”
“Eh, eh, hatiku lagi penuh, nih. Iya, penuh sama cinta kamuuu.”
“Besok jalan yuk, Sayang… aku bakal dandan yang cantik buat kamu!”
Selama lima tahun gue ngekos di sini, percakapan itu seenggaknya dua kali sehari masuk ke telinga gue, udah kayak minum obat. Dan kalau itu obat, kayaknya gue udah mati gara-gara overdosis. Ya, bayangin aja, kemesraan tetangga bersama kekasihnya berbanding terbalik dengan gue yang jadi pendengar setia dan cuma pelukan sama guling. Kadang gue pengen sumpal kuping gue aja biar nggak denger kemesraan mereka lagi.
Alasan kedua yang bikin gue lebih memilih kerja dua sif alias lembur, tak lain dan tak bukan karena gue benci sama kepala toko. Dibilang baik, ya... dia memang baik. Dibilang ganteng, ya lumayanlah. Tapi... mulutnya itu comel kayak emak-emak. Setiap kesalahan kecil yang gue perbuat nyaris bakal diungkit dan jadi bahan pembicaraan dalam seminggu ke depan. Singkatnya, dia berhasil bikin gue merasa jadi kasir yang paling bodoh di dunia.
Karena itu, gue selalu menunggu jadwal dan memastikan supaya nggak satu sif sama orang itu. Seenggaknya gue bisa tenang beberapa saat. Pengennya sih gue pindah ke toko lain biar bisa kerja tanpa gangguan, tapi supervisor gue nggak mengizinkan. Katanya, gue baru dipindahtugaskan kalau gue udah jadi kepala toko. Gue harus menunggu waktu yang tepat supaya bisa cabut dari toko ini.
Hari ini adalah hari bahagia gue. Gue dan kepala toko sama sekali nggak satu sif. Gue sif pagi, kerja dari pukul 8 pagi sampai 4 sore, sedangkan dia sif siang, kerja dari pukul 2 siang sampai 10 malam. Lumayanlah. Gue nggak akan terlalu sering lihat wajahnya yang menyebalkan itu.
Sepanjang perjalanan gue cuma melamun, dan nggak sadar tiba-tiba gue udah sampai di area toko. Minimarket tempat gue kerja sudah buka. Padahal seharusnya, minimarket dibuka setelah briefing. Si Bagas memang kadang suka eror. Dua tahun kerja di sini jadi seenak jidat buka toko kapan pun dia mau!
“Manyun aja lo!” teriak gue saat masuk ke dalam toko.
“Iya nih, Mbak, gue dapet chat dari si Daffa. Masa gue disuruh lembur hari ini. Katanya dia ada keperluan. Ih, bikin males aja!”
Gue berdiri di hadapannya. “Uuuu, kasihan sekali Babang Bagas. Mau gue gantiin?”
Bagas yang lemas seketika mendongak dengan mata berbinar-binar. Bola matanya mirip anak kucing saat dikasih makan. “Beneran, Mbak?” tanyanya antusias.
“Beneran.” Gue mengangkat kedua alis. “Itu juga kalo lo nggak malu sama cewek!”
Bagas langsung mendengus dan matanya kembali fokus ke sapu dan lantai yang sedang dibersihkan.
“Eh, Gas, si Agus belum dateng?” Gue bertanya tanpa menoleh, memilih menyortir roti di rak belakang yang plastiknya rata-rata sudah kempis.
“Gue nggak mau jawab! Gue ngambek!” tegas Bagas. Sekarang dia sedang membereskan permen di depan meja kasir.
“Elah….” Gue melangkah ke arah gudang. “Dasar cowok jadi-jadian lo!”
Gue berlalu menuju gudang meninggalkan Bagas. Di minimarket, gudang penyimpanan stok barang adalah basecamp kami. Apa pun yang berhubungan dengan jadwal, brankas, atau briefing, pasti dilakukan di sana. Terkadang gudang juga jadi tempat gue gibah sama Bagas. Kami yang sama-sama membenci Daffa sering membicarakan kelakuan busuk orang sok bijaksana dan berkuasa itu.
“Eh, Agus Ipander….” Gue berkata sambil melempar tas.
Agus yang sedang sibuk merapikan sabun mandi di rak langsung manyun. “August Ivander, Mbak. Bukan Agus Ipander!”
“Sama aja kali.” Muka gue lempeng kayak jalan tol. “Kirain lo belum dateng, Gus.”
“Disuruh datang pagi sama Pak Daffa. Katanya aku harus beresin gudang, Mbak. Denger-denger bakal ada stok baru siang ini.”
“Lo manggil apa barusan? Pak Daffa?” Gue benar-benar merasa kagok saat Agus menyebut Daffa dengan sebutan itu. Yah, wajar sih sebenarnya. Di antara yang lain, Agus-lah yang paling menurut dengan kepala toko. Mungkin karena baru dan belum punya otoritas juga kali, ya. Coba kalau dia sudah kerja tahunan kayak gue, pasti lama-lama juga muak.
Agus sama sekali nggak menjawab pertanyaan gue. Sekarang, dia pindah ke rak kosmetik dengan menaiki kursi plastik. Bukan gue namanya kalau nggak punya pembahasan lain. Gue menghampiri meja yang ditempeli kertas jadwal kerja.
“Gus, bukannya kemarin jadwal Daffa, ya, pas sif dua? Bareng lo sama Stevi, kan?” tanya gue. Stevi adalah kasir junior di toko.
“Iya, Mbak....”
“Lah, terus? Harusnya Daffa dong yang beresin gudang kemarin? Kerjaan kepala toko kan cuman nunjuk-nunjuk doang. Lo sendiri pasti sibuk kan waktu itu?”
Gue paham kalau Agus pasti sibuk, karena kerjaan kru itu padat banget saat sore hari. Ketika pengunjung ramai, dia harus mengawasi situasi toko, takut-takut ada maling. Dan pada saat yang sama dia juga harus sigap mengisi stok barang yang kosong.
“Mbak tahu sendiri Pak Daffa kayak gimana,” keluh Agus setelah diam cukup lama. “Dia mah malah banyak bercanda sama Mbak Stevi.” Terlihat senyum lebar dari bibir Agus. “Tapi nggak apa-apa sih, Mbak. Kan ini memang tugas aku juga. Apalagi aku perlu banyak belajar.”
Gue hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Agus. Dia memang baik dan bertanggung jawab. Sayangnya, kebaikan Agus sering dimanfaatkan oleh Daffa. Mentang-mentang Agus anaknya polos, masa Agus disuruh cuci kolornya si Daffa. Dan parahnya, Agus mau aja disuruh kayak gitu! Apa dia nggak mencium bau aneh dari kolor dekil itu, ya? Hadeuh.
Tapi... biarpun bawel dan sering menjajah bawahannya, Daffa sebenarnya orang yang paling berdedikasi yang pernah gue kenal. Hal itu yang membuat gue salut sama dia. Berkat Daffa, toko ini selalu juara dalam kebersihan, penjualan, bahkan tingkat minus paling sedikit. Dia juga sering lembur menggantikan karyawan lain yang mendadak nggak bisa hadir, sehingga pakaian ganti dan kolor kebanggaannya itu tersampir di gudang belakang.
Betewe, besok gue satu sif dengan Daffa. Sif pagi. Entah kenapa, semenjak gue mengajukan resign akhir bulan lalu, bulan ini gue malah lebih sering dijadwalkan bersama Daffa. Kayaknya, dia juga mau bikin gue kesal dengan jadwal yang sudah dia atur. Tapi... apa boleh buat? Gue harus bisa menahan emosi supaya bisa resign dengan mudah.
“Udah briefing?” tanya gue ke Agus.
“Briping, Mbak?” tanyanya balik.
“Briefing, Agus,” jawab gue sedikit kesal.
“Mbak juga salah nyebut nama aku. Harusnya August.” Dia memanyunkan bibir dan turun dari kursi.
“Terserah lo, deh! Ribet banget.” Gue balik mengegas. “Panggilin Bagas, gih. Kita briefing dulu.”
Agus menerobos dengan bibir masih manyun. Selain mudah disuruh-suruh, Agus ini bisa berubah bentuk. Bisa jadi ikan, cicak, bahkan kalau lagi iseng, dia bisa berubah menjadi "pahlawan" alias jadi tumbal untuk mengusir orang nggak waras yang suka duduk di teras depan. Ya, meskipun ujung-ujungnya Agus mengusir sambil memberi roti dan minuman yang dibeli dengan uangnya sendiri. Daebak!
“Mbak!” Bagas terengah-engah saat muncul di depan pintu gudang. Wajahnya terlihat capek, mirip atlet maraton. “Itu, Mbak….”
“Kenapa?” tanya gue ikut panik.
Agus muncul dari belakang Bagas. Dia nggak kalah panik. Bahkan sekarang, dia memegangi celana jeans-nya yang kedodoran. Ya ampun, Agus. Baru kemarin gue ingetin buat pakai ikat pinggang. Sekarang tahu rasa, kan!
“Ada pelanggan yang protes!” teriak Bagas.
“Protes kenapa?” Gue makin bingung.
“Dia marah karena harga makanan yang dibeli nggak sesuai sama harga di rak.”
Lagian si Bagas, sih! Dari dulu udah dibilangin kalau toko itu baru buka setelah briefing. Dia malah buka toko sebelum kasirnya dateng. Duh, kalau ketahuan Daffa, masalah ini bakal jadi bahan perpeloncoan terbesar di toko ini.
Tanpa banyak omong, gue berlari dari gudang untuk menghadapi pelanggan yang protes. Dari balik rak makanan, gue melihat seorang cowok berdiri di depan kasir. Dia memegang dua bungkus roti dan sebotol air mineral.
“Maaf, Pak….” Gue berkata sungkan sambil menyalip dan masuk ke wilayah kasir. Sekarang, gue dan dia berhadapan. “Ada yang bisa kami bantu?”
“Kenapa harga di label sama di kasir beda?” tanyanya ketus. “Jawab!” bentaknya.
Mendadak badan gue gemetar. Bukan cuma karena ngeri sama pelanggan satu ini, tapi juga karena… kok dia cakep banget?! Ganteng, tinggi, putih… kayak Kim Jong Un! Eh, kok Kim Jong Un, sih? Aduh, siapa sih idol Korea itu? Tapi cara dia ngomong bikin gue mikir lagi. Ada nggak ya, cewek yang mau sama cowok model begitu?
“Halo?! Bukannya jawab malah bengong!”
Astaga, Veanita! Bisa-bisanya lo ngelamun di saat genting kayak ini?!
“Gue mau cancel makanannya! Males beli beda harga gini!”
“Aduh, Pak, maaf nggak bisa cancel. Lagian harganya cuma beda dua ratus rupiah. Di label dua ribu tiga ratus, sementara harga asli dua ribu lima ratus.”
“CUMA BEDA DUA RATUS LO BILANG?!” Dia memelotot. “Dua ratus juga duit!” Dia menunjuk-nunjuk muka gue. “Ini lagi, masa rotinya udah nggak bagus? Plastiknya juga udah kempes gini. Kenapa masih dipajang?”
Ucapannya bikin gue jengkel. Dasar cowok gila! Kalau udah tahu kempes terus ngapain lo ambil?! Ini masih pagi. Toko baru buka meski harusnya belum buka. Gue dan tim belum sempat sortir barang! Tapi lain di hati lain di mulut, gue cuma bilang, “Oh iya, Pak. Maaf ini keteledoran kami. Kami tidak akan mengulanginya lagi.”
“Pak?” Sekarang dia mengibaskan rambutnya yang sudah mirip kayak King Nassar itu, bikin gue mau ngakak. “Udah berapa kali lo manggil gue Pak? Lo bisa lihat muka gue, kan?”
Gue hanya mengangguk-angguk. Iya, gue bisa lihat. Lo adalah pemuda jangkung dengan bibir pedas yang melebihi Daffa, tapi apa lo tahu, panggilan Bapak memang ditujukan kepada semua customer pria yang membeli di toko ini? Seandainya gue ikut rapat ke kantor pusat, gue mesti protes. Harusnya SOP pemanggilan pelanggan disesuaikan dengan umur! Kali ini, gue jadi malah kelihatan salah saat mengikuti standar kantor.
“Pokoknya gue nggak jadi beli!”
Cowok itu beringsut pergi dari hadapan gue setelah melempar roti dan air mineral di meja kasir. Dan yang lebih menyebalkan, dia juga membanting pintu saat keluar toko. Gila nih cowok! Ternyata masih ada manusia bebal model begitu. Gue makin syok saat dia masuk ke mobil keren di parkiran. Bener ya, kadang beberapa orang nggak berperikemanusiaan! Uang dua ratus perak aja dipermasalahin, padahal dia bisa nyumbangin jutaan rupiah ke siapa pun.
Gue menatap dua roti dan satu botol air mineral yang tergeletak di atas meja. Setelah dicek di komputer kasir, data sudah diinput oleh Bagas. Artinya, gue harus mengganti belanjaan orang lain dengan uang gue sendiri. Sebenarnya, gue bisa aja suruh Bagas buat ganti. Lagi pula, ini kan kesalahan dia karena sudah buka toko sebelum briefing. Tapi karena gue belum sarapan, ya udah gue aja yang bayar. Lumayan buat pengganjal perut.
Bagas dan Agus muncul dari balik rak makanan. Wajah mereka terlihat pucat. Lalu, Bagas angkat bicara. “Sorry ya, Mbak.”
“Aku juga minta maaf, Mbak.” Agus ikut bersuara.
Mereka tetap minta maaf, padahal gue juga kurang teliti dengan kerjaan beberapa hari lalu. “Gue maafin, asal kalian jangan lapor masalah ini ke Daffa.”
Kedua rekan gue mengangguk yakin.
Ini semua jelas bukan masalah besar. Komplain pembeli sudah jadi makanan sehari-hari bagi pegawai toko kayak kami, tapi kalau Daffa tahu, ini akan menjadi hal yang menggemparkan. Bisa-bisa gue dikasih surat peringatan ketiga di tahun ini. Kalau sudah begitu, surat pemecatan pun sudah di depan mata. Gue sama sekali nggak mau keluar dari toko dengan reputasi jelek. Gue harus mempertahankan kerjaan dengan baik sebelum resign dari sini. Oke, Ve. Semoga kesalahan ini nggak tercium oleh si Daffa.

RECOMMENDED FOR YOU Explore More
_1706085775.jpg)


